Para
fuqoha memiliki kadar-kadar tertentu di dalam menentukan najis, apakah
najis itu dimaafkan atau tidak, sebagaimana terdapat pada
madzhab-madzhab yang ada, diantaranya sebagai berikut:
1. Madzhab Hanafi
• Menurut
mereka, batasan najis yang dimaafkan tergantung dari pada jenis najis
tersebut, berat (mugholazdoh) atau ringan (mukhoffaf).
• Najis yang berat atau ringan dimaafkan bila kadarnya sedikit.
• Batasan
sedikit di dalam najis yang berupa benda padat yang mugholazhoh (berat)
ialah dibawah satu dirham. Sedangkan yang berupa cairan kadarnya tidak
lebih dari lekukan telapak tangan. Dan menurut pendapat yang masyhur
diharamkan sholat dengan adanya najis walaupun najis itu sedikit dan
termasuk yang dimaafkan.
• Kadar
sedikit pada najis mukhoffaf yang mengenai pakaian ialah di bawah
seperempat bagian dari pakaian yang terkena najis, dan pada badan di
bawah seperempat bagian dari badan yang terkena najis, seperti tangan
atau kaki.
• Dimaafkan pula sedikit kencing atau tahi dari kucing atau tikus yang berada di pakaian atau makanan, bila terpaksa (dhoruroh).
• Serta
pada keadaan yang tidak memungkinkan untuk terhindar dari terkena najis
seperti pada saat memandikan mayat, karena hal itu merupakan suatu
keadaan yang memaksa atau dhoruroh. Sebagaimana dimaafkannya tanah yang
ada pada jalanan –kecuali bila dia telah mengetahui adanya najis.
• Dimaafkan
pula darah yang tersisa dari badan hewan yang disembelih dikarenakan
sulit terhindar darinya. Termasuk darah jantung, limpa dan hati
dikarenakan darah tersebut bukan darah yang mengalir, darah kutu
walaupun banyak, darah ikan, dan air liur bighol dan keledai, begitu
pula darah yang mengalir dari orang yang mati syahid.
• Dalam
hal-hal ini yang menjadi sebab dimaafkannya suatu najis ialah karena
adanya keterpaksaan (dhoruroh) dan kesulitan untuk terhindar dari najis
tersebut.
2. Madzhab Maliki
• Dimaafkan
sedikit darah dari hewan-hewan yang berada didaratan. Sedikit nanah
yang kadarnya satu dirham bighol (yaitu lingkaran hitam yang terletak
pada kaki bighol). Begitu pula darah yang mengenai baju, badan atau
tempat lainnya baik darah tersebut berasal dari manusia itu sendiri atau
hewan, termasuk babi.
• Dimaafkan
pula najis yang sulit dihindari ketika sholat atau memasuki masjid,
sedangkan pada makanan maka hal tersebut menjadikannya najis dan tidak
diperbolehkan untuk memakannya.
• Diantara hal-hal yang dimaafkan karena sulit terhindar darinya:
1) Hadats
yang tidak dapat ditahan: yaitu sesuatu yang keluar dengan sendirinya
tanpa adanya keinginan untuk mengeluarkannya, seperti: air kencing,
mani, madzi dan tinja yang keluar dengan sendirinya. Hal ini termasuk
najis yang dimaafkan dan tidak diwajibkan untuk mencucinya karena
dhoruroh jika terjadi pada setiap hari walaupun cuma sekali.
2) Air kencing yang keluar akibat penyakit beser yang mengenai badan atau pakaian pada setiap hari walaupun sekali. Sedangkan
bila mengenai tangan atau sobekan kain maka tetap diharuskan untuk
mencucinya, kecuali bila air kencing tersebut keluarnya banyak dalam
artian berulang-ulang lebih dari dua kali pada setiap hari. Dikarenakan
mencuci tangan tidak seberat mencuci badan atau pakaian.
3) Air
kencing atau tinja anak bayi yang mengenai wanita yang menyusuinya,
walaupun belum menjadi anaknya, jika dia telah berusaha untuk menghindar
dari air kencing dan tinja tersebut, berbeda dengan wanita
berlebih-lebihan dalam hal ini.
4) Kotoran
kuda, bighol atau keledai yang mengenai pakaian, badan atau tempat
orang yang sholat, jika orang tersebut masih mengembala atau merawatnya,
dikarenakan sulit terhindar dari kotoran yang mengenainya.
5) Bekas
yang ditinggalkan oleh lalat atau nyamuk yang telah hinggap pada
sesuatu yang najis (kotoran atau darah) dengan mulut atau kaki-kakinya,
yang kemudian terbang dan hinggap di pakaian atau badan, dikarenakan
sulit terhindar darinya.
6) Bekas tato yang sulit untuk dihilangkan.
7) Bekas
berbekam bila telah dibersihkan dengan potongan kain atau semisalnya,
hingga dibersihkan dengan mencucinya (mandi), dikarenakan adanya
kesulitan untuk mencucinya sebelum luka tersebut sembuh, sedangkan bila
telah sembuh berdasarkan dua pendapat yang ada diwajibkan atau
disunahkan untuk mencucinya.
8) Bekas
bisul dari nanah yang mengalir jika banyak, baik mengalir dengan
sendirinya atau diperas, dikarenakan banyaknya bisul merupakan sesuatu
yang memaksa sebagaimana penyakit gatal. Adapun jika bisul tersebut cuma
satu maka hal itu dimaafkan baik nanah tersebut mengalir dengan
sendirinya atau diperas, sebagai bentuk kehati-hatian. Bila bisul
tersebut diperas tanpa suatu kebutuhan maka hal tersebut tidak dapat
dimaafkan kecuali bila kadarnya satu dirham dan tidak lebih.
9) Darah kutu bila tidak lebih dari satu dirham dan kotoran kutu walaupun banyak. Serta sedikit bangkai kutu, minimal tiga.
10) Air
yang keluar dari mulut orang yang tidur yang berasal dari lambung
(usus) yang warnanya kuning dan busuk, bila sudah menjadi kebiasaan,
adapun jika bukan suatu kebiasaan hal itu najis.
11) Air
hujan dan tanahnya yang bercampur dengan najis yang mengenai pakaian
atau kaki, yang masih lembek (basah) walaupun setelah berhentinya hujan,
jika terbebas dari tiga hal: 1) Najis tersebut tidak lebih banyak dari
tanahnya, baik banyak tersebut dengan yakin atau kira-kira; 2) Belum
terkena najis yang tidak bercampur dengan selainnya; 3) Najisnya belum
terkena tanah. Sedangkan bila terdapat salah satu dari tiga keadaan di
atas, maka tidak ada keringanan dan diharuskan untuk mencucinya,
sebagaimana tidak dimaafkannya bila dia terkena sesudah tanah tersebut
kering, dikarenakan hilangnya masyaqqoh.
12) Bekas
besuci dengan batu atau daun bagi laki-laki, bila tidak lebih dari
kebiasaan. Sedangkan bila tersebar dan banyak maka yang melebihi dari
kebiasaan itu dicuci dengan melumurinya.
3. Madzhab Syafi’i
• Seluruh najis tidak dimaafkan kecuali:
1) Yang tidak diketahui oleh mata seperti darah yang ringan dan percikan air kencing.
2) Darah
atau nanah yang berasal dari jerawat, bisul dan penyakit cacar, baik
sedikit atau banyak. Darah yang berasal dari kutu, nyamuk dan semisalnya
yang tidak memiliki darah yang mengalir. Darah yang keluar dari badan
yang dibekam atau terluka, kotoran lalat, kencing kekelawar, air kencing
yang keluar dengan sendirinya (tanpa disengaja), darah istihadhoh, air
nanah dan bisul yang mengeluarkan bau atau pun tidak, dikarenakan sulit
terhindar darinya.
Akan
tetapi jika darah atau nanah tersebut berasal dari jerawat atau bisul
yang diperas, kutu atau binatang ternak yang dibunuh, hal itu dimaafkan
bila hanya sedikit dikarenakan tidak ada kesulitan untuk menghindarinya.
Sebagaimana dimaafkannya sedikit darah ajnabi selain anjing dan babi
–menurut pendapat yang rajih. Yang termasuk ajnabi ialah sesuatu yang
terpisah dari badan seseorang yang kemudian mengenai orang tersebut,
sebab dimaafkannya ialah adanya kelonggaran (toleransi), adapun darah
anjing dan semisalnya tidak dimaafkan waulaupun sedikit karena hukumnya
mugholazhoh. Adapun batasan banyak dan sedikit dalam masalah ini ialah
‘urf (kebiasaan).
Kesimpulannya,
yang menjadi sebab adanya ampunan pada seluruh darah ialah selama tidak
bercampur dengan ajnabi. Sedangkan bila bercampur dengannya, walaupun
darah itu sendiri bersumber dari tempat yang lain maka tidak dimaafkan.
3) Bekas
tempat istijmar dimaafkan bagi orang itu sendiri walaupun daerah yang
bekas istijmar tersebut berkeringat (basah) dan menyebar selama tidak
melampaui tempat istinja’.
4) Orang
yang tidak mampu mencegah dirinya dari terkena tanah jalanan yang ia
yakini kenajisannya maka najis tersebut dimaafkan, bila hal ini terjadi
pada musim dingin dan bukan pada musim panas, dan yang terkena bagian
bawah pakaian atau kaki bukan lengan pakaian atau tangan. Dalam hal ini
disyaratkan jenis najis tersebut tidak jelas baginya; dan
orang itu telah menjaga dirinya agar tidak terkena najis; dan dia
terkena najis tersebut takkala berjalan atau mengendarai sesuatu bukan
karena terjatuh ke tanah.
Ketentuan sedikit dalam hal ini: selama pelakunya tidak
menisbatkan jatuhnya disebabkan oleh sesuatu, tergelincir, atau kurang
berhati-hati. Jika dia menisbatkan kepada salah satu hal di atas maka
tidak dimaafkan.
4. Madzhab Hanbali
• Mereka
tidak memaafkan najis yang ringan, walaupun najis tersebut tidak dapat
diketahui oleh mata seperti sesuatu yang ada pada lalat atau semisalnya,
berdasarkan keumuman firman Allah : { وَ ثِيَابَكَ فَطَهِّرْ }, dan atsar Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anha: (( أمرنا أن نغسل الأنجاس سبعاً
)) dan dalil-dalil lainnya. Tetapi mereka memaafkan darah dan nanah
yang ringan jika tidak mengalir dan sedikit, dikarenakan sulit terhindar
darinya. Hal itu bila terjadi pada hewan yang bersih ketika masih
hidup, binatang ternak atau selain binatang ternak yang dimakan
dagingnya seperti unta dan sapi.
• Dimaafkan
pula bekas istijmar setelah memenuhi jumlah yang dituntut dalam
istijmar; tanah jalanan yang telah diketahui kenajisannya dikarenakan
sulit menjaga darinya; air kencing yang keluar tanpa sengaja dan ringan
yang disertai usaha untuk menghindar darinya; asap, debu dan uap yang
ringan dari najis, selama tidak jelas sifat yang ada pada sesuatu yang
suci disebabkan sulit terhindar darinya; najis yang mengenai mata dan
sulit untuk mencucinya.
Diringkas dari kitab Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu. Doktor Wahbah Az-Zuhaili. Jilid 1. Hlm: 169-177.
0 komentar:
Posting Komentar
B'rada dalam Suasana YG Happy